ADB Pangkas Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 ke 4,9%, Tertinggal dari Vietnam dan Filipina

ADB menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,9%, di bawah Vietnam dan Filipina. Ketidakpastian perdagangan global, tarif AS, dan risiko eksternal menjadi faktor utama revisi.

PipTrail –  Asian Development Bank (ADB) dalam laporan terbarunya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 menjadi 4,9%, lebih rendah dari perkiraan April sebesar 5%. Angka ini menempatkan Indonesia di bawah Vietnam dan Filipina yang dinilai lebih tangguh menghadapi ketidakpastian global.

Selain untuk 2025, ADB juga menurunkan outlook pertumbuhan Indonesia tahun 2026 dari 5,1% menjadi 5%. Proyeksi inflasi pun direvisi, dengan perkiraan inflasi 2025 turun dari 2% menjadi 1,7%, sementara 2026 tetap dipatok 2%.

Revisi ini mencerminkan pandangan ADB bahwa ekonomi Indonesia masih menghadapi tantangan besar dari sisi eksternal, terutama akibat ketidakpastian perdagangan global dan kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat.

Target Pemerintah Lebih Optimistis

Proyeksi ADB ternyata lebih rendah dibanding asumsi yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam APBN 2025 dan 2026. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2025 dan 5,4% pada 2026.

Perbedaan asumsi ini menggambarkan adanya gap antara optimisme pemerintah dan kehati-hatian lembaga internasional dalam menilai potensi pertumbuhan ekonomi RI di tengah tekanan global.

Ekonomi Asia-Pasifik Ikut Terkoreksi

Dalam laporan edisi September 2025, ADB juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia-Pasifik. Kawasan ini diproyeksikan tumbuh 4,8% pada 2025 dan 4,5% pada 2026, turun dari perkiraan April sebesar 4,9% dan 4,7%.

Menurut Kepala Ekonom ADB, Albert Park, tingginya tarif perdagangan AS dan ketidakpastian global masih menjadi penghambat utama. Ia menekankan pentingnya negara-negara di kawasan memperkuat manajemen makroekonomi serta memperdalam integrasi regional agar dapat menghadapi guncangan eksternal.

China dan India Juga Terdampak

Meski pertumbuhan China tetap diproyeksikan stabil di 4,7% pada 2025 dan 4,3% pada 2026, ADB menilai pasar properti yang melemah serta tarif tinggi masih menjadi risiko signifikan. Dukungan kebijakan pemerintah diperkirakan akan meredam sebagian dampak negatif tersebut.

Untuk India, ADB melakukan revisi lebih besar akibat penerapan tarif baru oleh AS sejak Agustus. Ekonomi India kini diperkirakan tumbuh 6,5% pada 2025–2026, lebih rendah dibanding perkiraan April yang masing-masing mencapai 6,7% dan 6,8%.

Asia Tenggara: Vietnam dan Filipina Lebih Unggul dari RI

Subkawasan Asia Tenggara menjadi salah satu yang mengalami koreksi paling tajam. Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan hanya 4,3% pada 2025 dan 2026, turun 0,4 poin persentase dibanding laporan sebelumnya.

Namun, di tengah koreksi tersebut, Vietnam dan Filipina justru tampil lebih baik dibanding Indonesia:

  • Vietnam: proyeksi 2025 naik dari 6,6% menjadi 6,7%, meski untuk 2026 dipangkas dari 6,5% menjadi 6%.

  • Filipina: proyeksi 2025 diturunkan dari 6% menjadi 5,6%, dan 2026 dari 6,1% menjadi 5,7%.

Dengan revisi ini, kedua negara tersebut diperkirakan tetap memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dari Indonesia, menegaskan pergeseran dinamika daya saing di kawasan.

Kawasan Lain: Kaukasus, Asia Tengah, dan Pasifik

Di luar Asia Tenggara, proyeksi ekonomi juga bervariasi:

  • Kaukasus dan Asia Tengah: pertumbuhan 2025 direvisi naik menjadi 5,5%, tetapi turun ke 4,9% pada 2026 akibat penurunan produksi minyak dan gas.

  • Pasifik: pertumbuhan 2025 dipatok 4,1% berkat kinerja tambang yang solid, sementara proyeksi 2026 dipangkas dari 3,6% menjadi 3,4%.

Risiko Eksternal Masih Membayangi

ADB menegaskan bahwa outlook ekonomi kawasan masih dibayangi risiko eksternal, di antaranya:

  1. Ketidakpastian kebijakan perdagangan AS, termasuk potensi tarif baru pada sektor semikonduktor dan farmasi.

  2. Negosiasi perdagangan AS–Tiongkok yang belum menemui titik terang.

  3. Ketegangan geopolitik global, yang dapat menekan arus perdagangan dan investasi.

  4. Prospek properti China yang rapuh, berpotensi memengaruhi stabilitas keuangan kawasan.

  5. Volatilitas pasar keuangan, yang bisa memperburuk sentimen investor dan menimbulkan aliran modal keluar dari negara berkembang.

Indonesia Perlu Strategi Ekstra

Dengan proyeksi ADB yang lebih rendah dari target pemerintah, Indonesia menghadapi tantangan serius untuk menjaga momentum pertumbuhan. Di tengah pelemahan permintaan global dan risiko eksternal yang kian kompleks, pemerintah perlu memperkuat daya saing industri domestik, mempercepat diversifikasi ekonomi, serta meningkatkan integrasi regional.

Meski outlook inflasi masih terkendali di bawah 2%, tantangan terbesar tetap pada pertumbuhan ekonomi yang melambat. Dibandingkan Vietnam dan Filipina yang lebih agresif dalam menarik investasi dan memperkuat ekspor, Indonesia perlu strategi ekstra agar tidak tertinggal dalam kompetisi regional.

Related Posts

Candid Mixers Gandeng PT Sukanda Djaya: Revolusi Mixer Premium Halal Asli Indonesia Siap Kuasai Pasar Nasional

Candid Mixers, brand mixer premium halal pertama asli Indonesia, menjalin kerjasama distribusi dengan PT Sukanda Djaya untuk menjangkau pasar nasional. Inovasi, kualitas, dan strategi modern siap menjadikan Candid pemain utama…

Tabungan Masyarakat Tergerus: Kelas Menengah Paling Tertekan, Kelas Bawah Justru Meningkat

Data LPS mencatat tabungan masyarakat Indonesia turun pada September 2025. Kelas menengah paling tertekan akibat meningkatnya pengeluaran rumah tangga, sementara kelas bawah justru mengalami kenaikan indeks menabung. PipTrail –  Kondisi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *