
Bank Indonesia sudah memangkas BI Rate empat kali sepanjang 2025, namun bunga kredit tetap tinggi di level 9,16%. Bankir ungkap alasan: biaya pendanaan, risiko kredit, hingga persaingan pasar.
PipTrail – Bank Indonesia (BI) kembali menegur industri perbankan atas lambatnya penurunan suku bunga kredit, meskipun BI Rate telah diturunkan sebanyak empat kali sepanjang tahun 2025. Per Juli 2025, bunga kredit rata-rata masih berada di posisi 9,16%, tidak berubah dari bulan sebelumnya dan hanya sedikit lebih rendah dibanding awal tahun yang berada di 9,20%.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar, mengingat kebijakan moneter BI seharusnya dapat mendorong penurunan biaya pinjaman bagi masyarakat dan dunia usaha. Namun, kenyataannya, suku bunga kredit cenderung stagnan.
Biaya Pendanaan Jadi Kunci
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menjelaskan bahwa penurunan BI Rate tidak serta merta menurunkan bunga kredit. Menurutnya, bunga kredit baru bisa turun jika biaya pendanaan atau cost of fund (CoF) ikut menurun. CoF sendiri sangat dipengaruhi oleh suku bunga dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank.
Lani menambahkan, meskipun BI Rate turun, bank belum bisa segera menyesuaikan bunga kredit karena margin keuntungan atau net interest margin (NIM) perbankan sudah tertekan. “Selama kenaikan CoF, bunga kredit relatif tidak naik. Terlihat dari tergerusnya margin atau NIM perbankan,” ujarnya.
Deposito Jadi Penentu
Hal serupa juga diungkapkan Presiden Direktur Maybank Indonesia, Steffano Ridwan. Menurutnya, penurunan bunga kredit harus diawali dengan turunnya bunga deposito. Saat ini, Maybank sudah mulai menurunkan bunga deposito secara bertahap agar dapat membuka ruang untuk menurunkan bunga kredit.
Dengan kata lain, jika bunga simpanan turun, maka biaya dana bank akan lebih rendah. Barulah bunga kredit bisa ikut menyesuaikan.
Risiko Kredit Masih Membayangi
Direktur Kepatuhan OK Bank menambahkan, selain faktor biaya pendanaan, bank juga harus mempertimbangkan risiko kredit. Penurunan bunga kredit tidak bisa dilakukan secara serampangan karena dapat memengaruhi kualitas portofolio kredit.
Hal ini ditegaskan pula oleh Direktur Risiko, Legal, dan Kepatuhan Allo Bank, Ganda Raharja Rusli. Ia mengatakan risiko kredit selalu menjadi faktor yang diperhitungkan dalam penentuan bunga kredit melalui mekanisme risk-based pricing. Dengan demikian, meskipun BI Rate turun, bank tetap perlu menjaga agar portofolio kreditnya sehat dan tidak menimbulkan kerugian.
Saling Menunggu dan Kompetisi Pasar
Wakil Direktur Bank INA Perdana, Yulius Purnama Junaedi, menekankan bahwa setiap bank memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan bunga kredit. Namun, karena pasar keuangan sangat kompetitif, bank cenderung saling menunggu sebelum mengambil langkah besar dalam menurunkan bunga kredit.
“Saat ini kami masih memantau pergerakan suku bunga di pasar. Karena kami bukan bank besar, posisi kami lebih ke arah follower, sehingga masih menunggu perkembangan,” jelasnya.
Allo Bank juga mengambil sikap serupa, dengan menyebut masih mengkaji respons pasar terhadap penurunan BI Rate. Menurut manajemen, keputusan yang diambil harus tepat secara waktu dan sesuai dengan kondisi kompetisi antarbank.
Pertumbuhan Kredit Melambat
Kondisi stagnasi bunga kredit ini berimbas pada perlambatan pertumbuhan kredit. Data BI mencatat, per Juli 2025, pertumbuhan kredit hanya sebesar 7,03% secara tahunan (year-on-year). Angka ini turun dari bulan Juni sebesar 7,77% dan lebih rendah dibanding Mei yang mencapai 8,43%.
Padahal, BI menargetkan pertumbuhan kredit di kisaran 8% hingga 11% pada akhir 2025. Perlambatan ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi dunia usaha yang sangat membutuhkan pembiayaan untuk ekspansi.
Dampak bagi UMKM dan Masyarakat
Kredit yang tidak kunjung murah memberi dampak signifikan bagi sektor usaha kecil dan menengah (UMKM). Dengan bunga pinjaman masih di atas 9%, banyak pelaku usaha mikro dan ritel kesulitan mengakses pembiayaan dengan biaya rendah. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi, mengingat UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional.
Bagi masyarakat, bunga kredit yang tinggi juga menambah beban cicilan untuk produk perbankan seperti kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraan bermotor, maupun kredit konsumsi. Kondisi ini membuat daya beli masyarakat tertahan meski kebijakan moneter BI sudah longgar.
Harapan ke Depan
Meski saat ini bunga kredit masih stagnan, ada harapan bahwa tren akan membaik. Jika inflasi tetap terkendali dan suku bunga simpanan turun, maka bank memiliki ruang lebih luas untuk memangkas bunga kredit.
Namun, bankir tetap menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara likuiditas, profitabilitas, dan stabilitas portofolio kredit. Kompetisi antarbank juga akan memengaruhi seberapa cepat bunga kredit bisa turun.
Dengan segala dinamika ini, masyarakat dan pelaku usaha tentu menantikan momen ketika penurunan BI Rate benar-benar dapat dirasakan melalui suku bunga kredit yang lebih terjangkau.