
Nilai tukar yen Jepang jatuh setelah PM Shigeru Ishiba mundur, memicu ketidakpastian politik. Sementara itu, dolar AS masih tertekan oleh data tenaga kerja yang lemah, memperbesar peluang pemangkasan suku bunga The Fed.
PipTrail – Nilai tukar yen Jepang mengalami tekanan hebat setelah Perdana Menteri Shigeru Ishiba secara mengejutkan mengumumkan pengunduran dirinya pada Minggu (7/9). Keputusan tersebut memunculkan gelombang ketidakpastian politik di negara dengan ekonomi terbesar ketiga di Asia itu. Pada awal perdagangan Senin (8/9), yen sempat merosot 0,5% terhadap dolar AS ke posisi 148,16 per dolar, sebelum memangkas sebagian kerugiannya. Tak hanya itu, mata uang Jepang juga terpuruk ke titik terendah dalam lebih dari setahun terhadap euro dan poundsterling.
Mundur mendadaknya Ishiba membuka jalan bagi periode transisi politik yang penuh spekulasi. Investor kini menanti siapa sosok yang akan menggantikannya, dan bagaimana kebijakan fiskal maupun moneter Jepang akan diarahkan ke depan. Nama Sanae Takaichi, politisi Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dikenal mendukung pelonggaran kebijakan fiskal, santer disebut sebagai kandidat potensial. Di sisi lain, Toshimitsu Motegi, mantan Menteri Luar Negeri, sudah secara terbuka menyatakan siap maju sebagai calon pengganti Ishiba.
Analis memperingatkan, tanpa kepastian kepemimpinan yang kuat di LDP, volatilitas pasar akan tetap tinggi. “Ketidakjelasan arah kepemimpinan membuat investor berhati-hati. Selama belum ada pengganti resmi Ishiba, yen, obligasi pemerintah, dan saham Jepang akan tetap bergerak fluktuatif,” jelas Charu Chanana, Kepala Strategi Investasi di Saxo.
Meski Jepang baru saja merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal kedua yang lebih tinggi dari perkiraan, kabar itu nyaris tidak memberi dukungan pada yen. Pasar lebih fokus pada faktor politik dan arah kebijakan moneter Bank of Japan (BOJ) yang masih diperdebatkan.
Dolar AS Tertekan Data Tenaga Kerja
Di sisi lain, dolar AS masih dalam posisi rentan setelah laporan ketenagakerjaan terbaru menunjukkan perlambatan signifikan. Tingkat pengangguran melonjak ke 4,3%, tertinggi dalam hampir empat tahun, sementara pertumbuhan lapangan kerja melemah jauh dari perkiraan.
Kondisi tersebut memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve akan menurunkan suku bunga acuannya dalam pertemuan September. Menurut FedWatch Tool CME Group, peluang pemangkasan suku bunga 25 basis poin hampir pasti, bahkan 10% pasar mulai memperhitungkan skenario lebih agresif: pemangkasan 50 basis poin.
Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama, tercatat turun tipis menjadi 97,82 setelah melemah lebih dari 0,5% pada akhir pekan lalu. “Dengan kondisi tenaga kerja yang melemah, pemangkasan suku bunga pada bulan ini sulit dihindari. Kami tetap memperkirakan penurunan 25 basis poin, diikuti tambahan pemotongan pada Oktober,” tulis analis Barclays dalam riset mereka.
Jika proyeksi Barclays terealisasi, maka sepanjang tahun ini The Fed bisa melakukan hingga tiga kali pemangkasan suku bunga, seiring dengan meningkatnya risiko perlambatan ekonomi AS.
Tekanan Politik AS dan Dampak Global
Selain faktor data ekonomi, The Fed juga menghadapi tekanan politik dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, bahkan mendorong peninjauan ulang kewenangan bank sentral dalam menetapkan suku bunga. Trump sendiri kembali mengkritik kinerja Jerome Powell, Ketua The Fed, dan disebut tengah mempertimbangkan calon pengganti.
Kombinasi ketidakpastian politik di Jepang dan tekanan terhadap The Fed membuat pasar global bergerak volatil. Pasar saham Jepang sempat menguat tipis, sementara obligasi pemerintah (JGB) relatif stabil meski imbal hasil jangka panjang tetap dekat rekor tertinggi. Di sisi lain, pasar mata uang bergejolak: poundsterling turun tipis 0,06% menjadi USD1,3499, euro melemah 0,04% ke USD1,1717, sementara dolar Australia dan Selandia Baru justru menguat tipis masing-masing 0,14% dan 0,15%.
Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Bagi Jepang, tantangan utama dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas yen dan mencegah pelarian modal. Ketidakpastian politik membuat investor global lebih waspada, terutama karena perubahan kepemimpinan berpotensi mengubah arah kebijakan BOJ yang sebelumnya mulai memperketat suku bunga.
Untuk AS, fokus utama terletak pada bagaimana The Fed menyeimbangkan tekanan politik dan kebutuhan nyata untuk merespons pelemahan ekonomi. Keputusan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat dapat memberi sentimen positif pada pasar saham, namun di sisi lain bisa melemahkan dolar lebih jauh.
Kedua kondisi ini menandai periode yang penuh gejolak di pasar keuangan global. Investor dihadapkan pada kombinasi langka: gejolak politik di Jepang yang mengguncang yen, serta kebijakan moneter AS yang semakin rentan terhadap tekanan politik.
Jika tidak ada kejutan positif dalam waktu dekat, volatilitas tinggi di pasar valas, saham, dan obligasi tampaknya akan terus berlanjut hingga akhir tahun.





