Rp24 Triliun untuk Apa? Ini 5 Kritik Terbesar Stimulus Ekonomi Pemerintah 2025

Pemerintah menggelontorkan Rp24,44 triliun untuk stimulus ekonomi 2025, namun sejumlah ekonom menilai kebijakan ini hanya bersifat konsumtif dan sementara. Simak 5 kritik utama yang mencuat.

Piptrail – Pemerintah Indonesia telah merilis paket stimulus ekonomi sebesar Rp24,44 triliun yang akan digelontorkan pada periode Juni hingga Juli 2025. Namun, alih-alih menuai pujian, kebijakan ini justru mengundang kritik dari berbagai kalangan. Sejumlah ekonom menyebut bahwa stimulus yang dikucurkan terlalu bersifat konsumtif, tidak menyentuh akar masalah ekonomi, dan tidak memberi dampak jangka panjang terhadap produktivitas nasional.

Berikut ini lima kritik utama yang disampaikan para pakar terkait stimulus ekonomi pemerintah tahun 2025:


1. Terlalu Konsumtif, Minim Dampak Struktural

Salah satu kritik paling tajam datang dari ekonom Yanuar Rizki. Ia menilai bahwa pemerintah hanya fokus mendorong konsumsi rumah tangga tanpa memperhitungkan faktor harga barang yang terus naik. Menurutnya, upaya meningkatkan daya beli masyarakat tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan tunai, melainkan harus diiringi kebijakan pengurangan pajak atau insentif harga terhadap barang-barang kebutuhan pokok.

“Kalau memang ingin menggenjot konsumsi, insentif harus diarahkan ke barang-barang yang dibutuhkan masyarakat kelas menengah ke bawah,” ujarnya.

Ia juga menyebutkan bahwa pendekatan konsumtif semata tidak menyelesaikan persoalan daya beli secara fundamental. Tanpa strategi jangka panjang, efek dari stimulus ini hanya akan bersifat sementara.


2. Tidak Menjangkau Kelompok Informal dan Kelas Menengah Terdampak

Yanuar juga menyoroti ketimpangan penerima manfaat dari stimulus. Ia menyarankan agar Bantuan Subsidi Upah (BSU) tidak hanya menyasar pekerja sektor formal, tetapi juga diperluas kepada kelompok masyarakat di sektor informal seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, hingga buruh harian.

Selain itu, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin meluas di kelas menengah seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk menyalurkan BSU secara lebih inklusif.

“Bantuan itu seharusnya bisa menjangkau masyarakat informal yang tidak terjangkau skema formal selama ini,” tegasnya.


3. Boros APBN dan Tidak Berkelanjutan

Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengkritik penggunaan dana yang sangat besar dari APBN untuk program stimulus yang bersifat jangka pendek. Dari total Rp24,44 triliun, sebanyak Rp23,59 triliun diambil dari APBN, sedangkan sisanya Rp85 miliar dari sumber non-APBN.

Menurutnya, program seperti ini akan membebani keuangan negara jika tidak didesain untuk menciptakan dampak jangka panjang.

“Kalau insentif dihentikan, pertumbuhan ekonomi akan kembali turun. Ini menunjukkan kebijakan yang tidak berkelanjutan,” jelas Wijayanto.

Ia menambahkan bahwa kebijakan seharusnya diarahkan untuk menciptakan efisiensi, produktivitas, serta peningkatan daya saing ekonomi nasional.


4. Tidak Mendorong Aktivitas Ekonomi Baru

Pemerintah dinilai gagal menggunakan stimulus sebagai alat untuk menciptakan kegiatan ekonomi baru yang bisa menopang pertumbuhan jangka panjang. Wijayanto menyarankan agar dana stimulus difokuskan pada sektor produktif seperti:

  • Proyek infrastruktur padat karya

  • Dukungan terhadap subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sederhana

  • Insentif bagi nelayan dan petani

  • Rasionalisasi belanja perjalanan dinas dan rapat pemerintahan

“Stimulus harus bisa men-trigger aktivitas ekonomi baru yang tetap berjalan meski insentif dihentikan,” tambahnya.


5. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Dinilai Minim

Kritik terakhir datang dari Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal. Ia menilai stimulus pemerintah belum cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga menembus angka 5%. CORE bahkan memperkirakan pertumbuhan maksimal hanya akan mencapai 4,8% pada tahun ini.

Menurut Faisal, sifat sementara dari stimulus ini akan membuat konsumsi masyarakat kembali melemah begitu program berakhir.

“Kebijakan ini tidak menyentuh faktor-faktor mendasar yang bisa mengangkat daya beli secara permanen,” katanya.

Ia menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kuat hanya bisa dicapai dengan strategi yang menyasar struktur ekonomi secara menyeluruh, bukan sekadar dorongan konsumsi sesaat.


Perlu Revisi Strategi Stimulus

Kritik dari para ekonom menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi ulang arah kebijakan stimulus ekonomi ke depan. Jika hanya mengandalkan belanja konsumtif, efeknya terhadap ekonomi nasional akan bersifat jangka pendek dan tidak mampu menahan dampak gejolak global atau tekanan domestik.

Solusi ke depan memerlukan kebijakan yang lebih inklusif, efisien, dan produktif. Dana triliunan rupiah seharusnya menjadi investasi jangka panjang untuk membangun ketahanan ekonomi nasional, bukan sekadar alat untuk menjaga daya beli dalam beberapa bulan.

Related Posts

DJP Kepung Penjual Mobil & Motor Online: Pajak 0,5% Siap Ditarik di Shopee, Tokopedia hingga E-commerce Lainnya

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menindak penjual mobil dan motor yang berjualan lewat marketplace seperti Shopee dan Tokopedia. Penjualan dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta akan dikenai pajak 0,5%.…

Dolar AS Dikepung! Kejutan Anggaran Jerman Ubah Arah Pasar dan Picu Peluang di Negara Berkembang

Anggaran mengejutkan dari Jerman memicu perubahan besar dalam strategi investor global. Posisi short dolar AS mendominasi, tapi sentimen mulai bergeser ke negara berkembang. Simak dampaknya bagi pasar global dan mata…

One thought on “Rp24 Triliun untuk Apa? Ini 5 Kritik Terbesar Stimulus Ekonomi Pemerintah 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *