Rupiah Tertekan di Awal Pekan: Dolar AS Menguat, Gebrakan Rp200 Triliun Belum Meyakinkan Pasar

Rupiah kembali melemah di awal pekan terhadap dolar AS meski The Fed memangkas suku bunga. Sementara itu, gebrakan Rp200 triliun pemerintah dinilai belum cukup meyakinkan pasar di tengah ketidakpastian global.

PipTrail –   Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan di awal pekan, menandakan tantangan besar yang masih harus dihadapi perekonomian domestik. Dolar Amerika Serikat (AS) kembali tampil perkasa setelah The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuannya. Meski langkah tersebut seharusnya memberikan ruang bagi mata uang negara berkembang, rupiah tetap kesulitan mempertahankan stabilitasnya.

Rupiah Melemah di Awal Perdagangan

Berdasarkan data Bloomberg, Senin (22/9/2025), rupiah pada pukul 09.40 WIB diperdagangkan di level Rp16.626 per dolar AS. Posisi ini melemah 25 poin atau sekitar 0,15 persen dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp16.601 per dolar. Sementara itu, data Yahoo Finance mencatat rupiah pada jam yang sama berada di level Rp16.573 per dolar.

Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi menilai pergerakan rupiah pada perdagangan hari ini akan cenderung fluktuatif. Namun, kecenderungan pelemahan masih dominan.

“Untuk perdagangan Senin ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.600 per USD hingga Rp16.660 per USD,” jelasnya dalam analisis harian.

The Fed Tetap Hati-Hati

Salah satu faktor utama yang memengaruhi rupiah adalah kebijakan suku bunga The Fed. Ketua The Fed Jerome Powell menegaskan bahwa bank sentral tidak memiliki dukungan luas untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin. Powell menekankan, setiap keputusan moneter tetap akan berbasis pada data ekonomi, bukan tekanan dari pihak eksternal.

Data ekonomi terbaru menunjukkan ketahanan ekonomi AS. Klaim pengangguran awal pada pekan yang berakhir 13 September turun menjadi 231 ribu, lebih rendah dari ekspektasi 240 ribu. Angka tersebut juga turun signifikan dibandingkan revisi pekan sebelumnya sebesar 264 ribu.

Selain itu, Indeks Manufaktur The Fed Philadelphia untuk September naik tajam ke level 23,2. Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan 2,3 dan melompat drastis dari minus 0,3 pada Agustus. Kenaikan ini menjadi sinyal pemulihan aktivitas manufaktur regional di AS yang lebih kuat dari perkiraan.

Geopolitik dan Harga Minyak Jadi Sorotan

Pasar global juga masih dibayangi isu geopolitik. Fokus investor tertuju pada potensi sanksi baru AS terhadap minyak Rusia. Presiden Donald Trump mengakui bahwa proses gencatan senjata dengan Ukraina berjalan lebih sulit dari perkiraan karena meningkatnya ketegangan. Kondisi ini memicu spekulasi akan adanya gangguan pasokan minyak lebih lanjut dari Moskow, yang berpotensi menekan pasar energi global.

Bagi rupiah, kombinasi antara ketahanan ekonomi AS dan ketidakpastian geopolitik menjadi kabar kurang baik. Dolar sebagai aset aman (safe haven) kembali menjadi incaran, sementara permintaan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, melemah.

Gebrakan Rp200 Triliun Belum Meyakinkan

Dari sisi domestik, perhatian pasar kini tertuju pada langkah pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang mengumumkan injeksi likuiditas Rp200 triliun ke sektor perbankan. Dana tersebut diambil dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) pemerintah sebesar Rp250 triliun untuk periode 2025–2026.

Tujuannya adalah mendorong pertumbuhan kredit perbankan, yang pada gilirannya diharapkan mampu memacu ekspansi dunia usaha. Namun, menurut Ibrahim, langkah ini berisiko tidak efektif jika persoalan lemahnya permintaan kredit tidak segera diatasi.

“Saat ini pengusaha masih gamang memanfaatkan kredit perbankan. Apalagi perbankan sangat berhati-hati dalam menggelontorkan kredit ke sektor riil,” paparnya.

Rendahnya daya beli masyarakat juga membuat pelaku usaha enggan melakukan ekspansi. Sepanjang masalah permintaan kredit belum menemukan solusi, likuiditas sebesar Rp200 triliun yang digelontorkan ke perbankan tidak akan mampu menggerakkan roda ekonomi secara signifikan.

Pasar Masih Skeptis

Menteri Keuangan sebelumnya membantah anggapan bahwa lemahnya permintaan kredit menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi yang melambat. Ia menegaskan kebijakan penempatan dana pemerintah di perbankan akan berdampak positif, seperti yang pernah terbukti pada tahun 2021. Namun, pasar menilai kondisi saat ini berbeda jauh dengan situasi empat tahun lalu.

Ibrahim menambahkan, penggunaan Rp200 triliun ini juga berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah. Pasalnya, dana tersebut bukan berasal dari anggaran darurat, melainkan dari sisa anggaran yang belum dibelanjakan. Kondisi ini bisa menyulitkan pemerintah dalam menutup kebutuhan APBN jika penerimaan pajak terlambat masuk.

Pelemahan rupiah di awal pekan ini menunjukkan kombinasi faktor eksternal dan internal yang saling menekan. Dari luar negeri, dolar AS mendapat dukungan dari data ekonomi yang solid dan ketegangan geopolitik. Dari dalam negeri, stimulus Rp200 triliun yang diluncurkan pemerintah belum mampu sepenuhnya meyakinkan pasar.

Ke depan, stabilitas rupiah sangat bergantung pada efektivitas kebijakan fiskal dan moneter domestik, serta perkembangan ekonomi global. Tanpa koordinasi yang kuat dan langkah strategis yang lebih komprehensif, rupiah masih akan terus menghadapi tekanan di tengah dominasi dolar AS.

Related Posts

Yen Jatuh ke Level Terendah 2 Bulan: Taruhan Pelonggaran Fiskal dan Dovish BoJ & The Fed Menjadi Pendorong

Yen Jepang melemah ke posisi terendah dalam dua bulan terhadap USD di tengah ekspektasi pelonggaran fiskal Jepang dan sinyal dovish dari BoJ & The Fed. Simak analisis teknikal dan faktor-faktor…

Rupiah Melemah ke Rp16.583: Dolar AS Menguat, Mata Uang Asia Terkoreksi

Nilai tukar rupiah ditutup melemah ke Rp16.583 per dolar AS pada Senin (6/10). Penguatan dolar AS dan sentimen hawkish The Fed membuat mata uang Asia tertekan. PipTrail –  Nilai tukar rupiah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *