
Nilai tukar rupiah ditutup melemah ke Rp16.583 per dolar AS pada Senin (6/10). Penguatan dolar AS dan sentimen hawkish The Fed membuat mata uang Asia tertekan.
PipTrail – Nilai tukar rupiah kembali ditutup melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (6 Oktober 2025). Berdasarkan data pasar spot, rupiah berada di level Rp16.583 per dolar AS, turun 20 poin atau 0,12 persen dibandingkan penutupan akhir pekan sebelumnya.
Sementara itu, kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menempatkan rupiah di posisi Rp16.598 per dolar AS, menandakan tekanan yang relatif konsisten di pasar domestik.
Pergerakan negatif ini mencerminkan tekanan global yang masih tinggi terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dolar AS Menguat di Tengah Sinyal Hawkish The Fed
Analis dari Doo Financial Futures menjelaskan, pelemahan rupiah pada perdagangan kali ini terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS yang kembali mendapatkan momentum setelah pernyataan hawkish dari sejumlah pejabat Federal Reserve (The Fed).
“Dolar AS menguat karena ekspektasi bahwa suku bunga tinggi akan dipertahankan lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Hal ini menekan mata uang emerging markets, termasuk rupiah,” ujar analis tersebut.
Kebijakan moneter The Fed yang masih ketat membuat para investor global cenderung mengalihkan portofolio mereka ke aset dolar AS yang dianggap lebih aman dan memberikan imbal hasil tinggi. Akibatnya, mata uang negara berkembang—termasuk rupiah—mengalami tekanan jual.
Yen Jepang Melemah Tajam, Efek Domino ke Mata Uang Asia
Selain faktor The Fed, pasar keuangan Asia juga diguncang oleh pelemahan tajam yen Jepang setelah Sanae Takaichi resmi terpilih sebagai pemimpin baru Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang.
Kemenangan Takaichi, yang dikenal mendukung kebijakan moneter longgar, membuat yen anjlok hingga 1,8 persen terhadap dolar AS. Kondisi ini menciptakan efek domino di kawasan, menyeret sejumlah mata uang regional lainnya termasuk rupiah.
“Pelemahan tajam yen Jepang setelah terpilihnya Sanae Takaichi untuk memimpin Partai Demokrat Liberal (LDP) juga ikut menyeret turun rupiah dan mata uang regional,” jelas analis Doo Financial Futures.
Investor menilai arah kebijakan Jepang di bawah Takaichi akan melanjutkan stimulus Bank of Japan (BoJ), yang membuat suku bunga tetap rendah. Perbedaan suku bunga yang semakin lebar antara Jepang dan AS memperkuat posisi dolar dan menekan mata uang Asia lainnya.
Mata Uang Asia Bergerak Variatif
Pergerakan mata uang Asia pada perdagangan hari ini terpantau bervariasi. Dolar Hong Kong justru naik 1,8 persen, sementara peso Filipina turun 0,744 persen. Yen Jepang melemah signifikan 1,8 persen, dan ringgit Malaysia terkoreksi 0,11 persen.
Mata uang dolar Singapura turun 0,38 persen, won Korea Selatan melemah 0,46 persen, serta baht Thailand terkoreksi 0,17 persen.
Kondisi ini menggambarkan bahwa tekanan eksternal sedang mendominasi pasar Asia, terutama akibat faktor dolar AS dan kebijakan moneter global yang belum memberikan sinyal pelonggaran.
Mata Uang Utama Negara Maju Juga Terkoreksi
Tidak hanya di Asia, sejumlah mata uang utama dunia juga mengalami fluktuasi. Euro melemah 0,65 persen terhadap dolar AS, sementara franc Swiss turun 0,28 persen.
Di sisi lain, dolar Australia justru menguat tipis 0,02 persen, dan dolar Kanada turun 0,01 persen. Pergerakan variatif ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap mata uang global tidak sepenuhnya seragam, tergantung pada kondisi ekonomi domestik dan arah kebijakan bank sentral masing-masing negara.
Faktor Internal: Ketahanan Ekonomi dan Sentimen Pasar
Dari sisi domestik, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen pasar yang berhati-hati terhadap kondisi ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun. Investor menilai tekanan inflasi global, harga komoditas yang berfluktuasi, dan defisit neraca berjalan masih menjadi risiko utama.
Namun, Bank Indonesia (BI) terus menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas nilai tukar. BI aktif melakukan intervensi di pasar valas dan memperkuat koordinasi dengan pemerintah guna mengendalikan volatilitas rupiah.
BI juga memastikan cadangan devisa dalam posisi yang cukup kuat untuk menghadapi tekanan eksternal jangka pendek. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menahan pelemahan rupiah agar tidak semakin dalam.
Outlook Rupiah ke Depan
Dalam jangka pendek, para analis memperkirakan rupiah masih akan bergerak di kisaran Rp16.500–Rp16.650 per dolar AS, mengikuti dinamika dolar global dan sentimen kebijakan The Fed.
Jika The Fed memberikan sinyal lebih lunak atau mulai menurunkan suku bunga pada kuartal pertama tahun depan, rupiah berpotensi menguat kembali. Namun, selama dolar masih berada dalam tren penguatan, volatilitas di pasar valas akan tetap tinggi.
“Investor perlu tetap waspada terhadap perkembangan data ekonomi AS dan pernyataan pejabat The Fed, karena keduanya sangat memengaruhi arah rupiah,” pungkas analis Doo Financial Futures.
Pelemahan rupiah ke level Rp16.583 per dolar AS pada perdagangan hari ini mencerminkan kombinasi antara faktor eksternal dan domestik. Penguatan dolar AS, sinyal hawkish dari The Fed, serta pelemahan yen Jepang menjadi pemicu utama tekanan di pasar keuangan Asia.
Meski demikian, dengan langkah stabilisasi yang dilakukan Bank Indonesia dan potensi perbaikan kondisi global dalam beberapa bulan ke depan, rupiah masih memiliki peluang untuk kembali menguat. Bagi pelaku pasar dan masyarakat, penting untuk tetap mencermati arah kebijakan moneter global serta menjaga strategi keuangan di tengah ketidakpastian.