Rupiah Tertekan: Pasar Tunggu Keputusan The Fed, Geopolitik dan Stimulus RI Jadi Penentu

Rupiah melemah ke Rp16.414 per dolar AS di tengah sikap wait and see pelaku pasar terhadap kebijakan The Fed. Geopolitik Rusia-Ukraina dan stimulus fiskal pemerintah RI akan menjadi faktor kunci pergerakan selanjutnya.

PipTrail –Nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan pada awal pekan ini. Sentimen global dan domestik berbaur, menciptakan ketidakpastian yang membuat pelaku pasar memilih sikap wait and see terhadap kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dan arah perekonomian Indonesia.

Menurut analis mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, pelemahan rupiah tidak terlepas dari kombinasi faktor eksternal dan internal. Rupiah pada penutupan perdagangan Senin (15/9/2025) melemah sebesar 40,50 poin atau 0,25% menjadi Rp16.414 per dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.375 per dolar AS.

Data Ekonomi AS dan Ekspektasi The Fed

Pasar global tengah menanti keputusan kebijakan moneter The Fed. Data terbaru Amerika Serikat menunjukkan inflasi utama pada Agustus 2025 masih relatif tinggi, namun tren lebih luas justru menegaskan adanya perlambatan ekonomi.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS memang masih memberi sinyal inflasi, tetapi indikator ketenagakerjaan mulai melemah. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa risiko penurunan lapangan kerja semakin nyata. Dengan kondisi demikian, pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin hampir pasti dilakukan pada pekan ini.

Menurut Ibrahim, data tersebut memberi alasan kuat bagi The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneter. Jika keputusan pemangkasan benar terjadi, aliran modal global berpotensi bergeser, memberikan dampak besar terhadap mata uang negara berkembang termasuk rupiah.

Geopolitik Rusia-Ukraina Tekan Pasar Energi

Selain faktor moneter, rupiah juga dibayangi sentimen geopolitik. Ukraina dikabarkan meningkatkan serangan terhadap infrastruktur minyak Rusia, termasuk terminal ekspor terbesar di Primorsk serta kilang utama Kirishinefteorgsintez.

Serangan tersebut berpotensi mengganggu produksi minyak Rusia dalam skala besar. Rusia yang selama ini mengandalkan pasar India dan China untuk ekspor minyak, bisa menghadapi hambatan serius. Jika suplai terganggu, harga minyak mentah global berisiko melonjak.

Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia yang masih mengimpor minyak dalam jumlah besar. Lonjakan harga energi akan memperburuk defisit transaksi berjalan dan menekan rupiah lebih jauh.

Sementara itu, Amerika Serikat berupaya menekan eskalasi konflik. Namun, Moskow memberi sinyal bahwa perundingan gencatan senjata dengan Ukraina kembali terhenti. Situasi ini membuat ketidakpastian global kian tinggi, dan rupiah sulit keluar dari tekanan.

Stimulus Domestik: Harapan di Tengah Tekanan

Dari dalam negeri, pemerintah berusaha menjaga momentum pertumbuhan dengan menyiapkan paket stimulus ekonomi. Paket ini rencananya akan digelontorkan pada akhir tahun, meski nilai pastinya belum diumumkan.

Beberapa langkah yang sedang dipertimbangkan antara lain:

  • Perluasan sektor sasaran PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), yang sebelumnya hanya berlaku untuk buruh sektor padat karya dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan.

  • Pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang masih cukup besar, meski Rp200 triliun sudah dipindahkan dari Bank Indonesia ke lima bank Himbara. Dana tersebut diarahkan untuk mendorong kredit sektor riil.

Menurut Ibrahim, masyarakat tidak perlu khawatir jika target pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya tercapai. Kebijakan fiskal dinilai masih cukup kuat untuk menopang pembangunan. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2% (yoy) pada 2025.

Prospek Rupiah ke Depan

Pergerakan rupiah dalam jangka pendek sangat dipengaruhi oleh keputusan The Fed. Jika pemangkasan suku bunga 25 basis poin benar terjadi, potensi aliran modal asing masuk ke pasar keuangan Indonesia bisa meningkat. Namun, di sisi lain, ketidakpastian geopolitik di Eropa Timur dapat menahan optimisme tersebut.

Secara fundamental, posisi cadangan devisa Indonesia masih cukup solid, sementara likuiditas perbankan diperkuat lewat penempatan dana pemerintah di Himbara. Langkah ini diharapkan bisa menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mendukung pembiayaan sektor riil.

Meski demikian, risiko eksternal tetap menjadi faktor utama yang perlu diwaspadai. Lonjakan harga energi akibat perang Rusia-Ukraina dan dinamika kebijakan moneter global bisa memicu volatilitas tinggi pada rupiah.

Pelemahan rupiah ke Rp16.414 per dolar AS pada perdagangan awal pekan menegaskan bahwa pasar masih diliputi ketidakpastian. Keputusan The Fed, perkembangan konflik Rusia-Ukraina, serta kebijakan fiskal domestik akan menjadi faktor penentu arah pergerakan mata uang Garuda ke depan.

Bagi investor dan pelaku pasar, strategi wait and see tampaknya masih relevan sambil menanti kepastian stimulus domestik serta keputusan bank sentral Amerika Serikat. Sementara itu, masyarakat dapat berharap agar kombinasi kebijakan moneter dan fiskal mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tekanan global yang semakin kompleks.

Related Posts

IHSG Masih Punya Tenaga, Dibuka Naik 0,25% di Awal Perdagangan

IHSG Hari Ini dibuka naik 0,25% didukung sentimen positif dari kebijakan ekonomi Tiongkok dan stabilitas domestik. Simak analisis lengkapnya di sini. PipTrail – IHSG Hari Ini dibuka menguat sebesar 0,25%…

Inflasi Prancis 2025 Naik ke 1,1%: Stabil tapi Waspada, Tantangan Baru bagi Ekonomi Zona Euro

PipTrail – Inflasi Prancis 2025 naik menjadi 1,1% pada September sesuai ekspektasi analis. Kenaikan ini mencerminkan stabilitas harga di tengah upaya Uni Eropa menjaga pertumbuhan ekonomi dan menahan risiko resesi.…

One thought on “Rupiah Tertekan: Pasar Tunggu Keputusan The Fed, Geopolitik dan Stimulus RI Jadi Penentu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *