Harga Minyak WTI Tertekan di Bawah $69 Akibat Ancaman Tarif Baru AS dan Ketidakpastian Ekonomi Global

Harga minyak WTI turun di bawah $69 per barel meski ancaman tarif baru AS memicu kekhawatiran permintaan global. Namun, kenaikan mingguan tetap kuat berkat potensi gangguan pasokan.

PipTrail – Harga minyak mentah acuan Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI), kembali berada di bawah tekanan pada Jumat pagi, turun ke kisaran $68,70 per barel dalam sesi perdagangan Asia. Ini menjadi penurunan selama dua sesi berturut-turut di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap perlambatan permintaan global, menyusul langkah pemerintah AS untuk memberlakukan tarif baru terhadap berbagai negara mitra dagang.

Kekhawatiran pasar saat ini bukan hanya datang dari sisi teknikal dan fundamental pasokan, tetapi lebih dalam lagi dipengaruhi oleh risiko geopolitik dan kebijakan proteksionis Amerika Serikat. Presiden Donald Trump baru-baru ini mengumumkan paket tarif tambahan, yang rencananya akan berlaku mulai 1 Agustus, dengan tarif yang dikenakan pada berbagai negara seperti Kanada, India, dan Taiwan.

Tarif Baru AS Picu Kekhawatiran Permintaan Minyak Global

Langkah proteksionis ini langsung berdampak pada sentimen pasar energi. Para pelaku pasar menilai bahwa kenaikan tarif terhadap negara-negara mitra dagang dapat memperlambat laju perdagangan global dan, pada akhirnya, menekan permintaan minyak.

Dalam pernyataan terbarunya, Presiden Trump mengesahkan perintah eksekutif yang mengenakan tarif antara 10% hingga 41% terhadap berbagai barang impor dari puluhan negara. Kegagalan negara-negara tersebut dalam mencapai tenggat waktu perjanjian dagang menjadi alasan utama kebijakan ini diberlakukan.

Sinyal Positif dari Kenaikan Mingguan Harga Minyak

Meskipun secara jangka pendek harga WTI menunjukkan pelemahan, secara mingguan harga minyak tetap berada di jalur kenaikan lebih dari 6%. Ini merupakan kenaikan mingguan terbesar sejak awal Juni 2025.

Katalis utama kenaikan mingguan ini adalah meningkatnya kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak global, terutama setelah Presiden Trump juga mengancam akan memberlakukan tarif sekunder sebesar 100% terhadap pembeli minyak dari Rusia. Selain itu, pemerintah AS juga telah mengirimkan peringatan kepada Tiongkok, salah satu konsumen minyak terbesar dunia, mengenai potensi sanksi berat jika negara tersebut terus membeli minyak mentah Rusia.

Kondisi ini menciptakan ketegangan baru dalam rantai pasok global, memicu spekulasi bahwa gangguan pasokan bisa mendorong harga lebih tinggi, meski permintaan saat ini masih penuh ketidakpastian.

Inflasi AS Naik, Tekan Harapan Penurunan Suku Bunga The Fed

Di sisi makroekonomi, data terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan peningkatan inflasi, terutama dari Indeks Harga Belanja Konsumsi Pribadi (PCE), yang merupakan indikator inflasi favorit Federal Reserve (The Fed). Pada bulan Juni, inflasi PCE inti meningkat sebesar 0,3% (MoM), sesuai ekspektasi pasar. Namun secara tahunan, angka tersebut naik menjadi 2,6% (YoY), melampaui perkiraan 2,5%.

Peningkatan inflasi ini sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang-barang impor, seperti furnitur rumah tangga dan produk rekreasi, akibat pengaruh tarif. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa tekanan inflasi akan berlanjut di semester kedua 2025.

Akibatnya, banyak analis kini memperkirakan bahwa The Fed akan menunda rencana penurunan suku bunga hingga setidaknya Oktober 2025. Kebijakan suku bunga tinggi secara historis berdampak negatif terhadap harga minyak, karena biaya pinjaman yang lebih mahal dapat memperlambat aktivitas ekonomi dan mengurangi konsumsi energi di negara konsumen terbesar seperti AS.

Fokus Pasar Bergeser ke Data Tenaga Kerja AS

Dengan ketidakpastian tarif dan inflasi yang meningkat, perhatian pasar kini bergeser ke rilis data Nonfarm Payrolls (NFP) yang dijadwalkan keluar hari ini. Data ketenagakerjaan ini menjadi indikator penting yang dapat memberi petunjuk tentang kekuatan pasar tenaga kerja AS dan kemungkinan arah kebijakan moneter The Fed selanjutnya.

Jika angka NFP menunjukkan pertumbuhan yang solid, The Fed kemungkinan akan tetap mempertahankan suku bunga tinggi untuk sementara waktu, menambah tekanan bagi harga minyak. Sebaliknya, jika data menunjukkan pelemahan pasar tenaga kerja, ekspektasi penurunan suku bunga dapat kembali menguat, yang mungkin mendukung harga komoditas dalam jangka menengah.

Harga Minyak Terjebak Antara Ketakutan dan Harapan

Pasar minyak dunia saat ini berada dalam kondisi yang penuh ambiguitas. Di satu sisi, ada potensi gangguan pasokan akibat kebijakan tarif dan sanksi AS terhadap Rusia serta mitra dagang lainnya. Di sisi lain, risiko perlambatan ekonomi akibat inflasi dan suku bunga tinggi menekan prospek permintaan.

Dengan harga WTI yang kembali tergelincir ke bawah $69 per barel, pelaku pasar harus memantau dengan ketat perkembangan geopolitik, kebijakan perdagangan, dan data ekonomi AS untuk menentukan arah tren harga minyak selanjutnya.

Related Posts

Inflasi IHK Australia Kuartal III 2025 Naik 1,3% AUD Menguat Lawan Dolar AS

Inflasi IHK Australia Kuartal III 2025 naik 1,3% QoQ, melampaui ekspektasi pasar 1,1%. Data ABS mendorong penguatan Dolar Australia (AUD) terhadap Dolar AS (USD) menjelang keputusan kebijakan moneter RBA. PipTrail…

Yen Jepang terhadap Dolar AS Naik ke Tertinggi 1 Minggu, Spekulasi BoJ dan The Fed Jadi Sorotan

Yen Jepang terhadap Dolar AS menguat ke level tertinggi satu minggu di tengah kekhawatiran intervensi pasar dan spekulasi kebijakan suku bunga BoJ. Simak analisis lengkap dampaknya terhadap USD/JPY jelang keputusan…

One thought on “Harga Minyak WTI Tertekan di Bawah $69 Akibat Ancaman Tarif Baru AS dan Ketidakpastian Ekonomi Global

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *