
Nilai tukar rupiah melemah ke Rp16.527 per dolar AS pada 18 September 2025. Sentimen The Fed, kekhawatiran defisit fiskal, serta pemangkasan suku bunga BI membuat rupiah tertekan.
PipTrail – Nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan Kamis sore, 18 September 2025, rupiah ditutup di level Rp16.527 per dolar AS, melemah 90 poin atau 0,55% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.
Data kurs referensi Bank Indonesia (BI) melalui Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp16.498 per dolar AS, menunjukkan tren pelemahan yang konsisten sepanjang pekan ini.
Rupiah Ikut Tren Pelemahan Mata Uang Asia
Pelemahan rupiah tidak terjadi sendirian. Mayoritas mata uang Asia juga mengalami nasib serupa seiring rebound dolar AS. Baht Thailand melemah 0,05%, yen Jepang turun 0,12%, dolar Singapura minus 0,09%, dan yuan China terkoreksi 0,04%.
Namun, di pasar negara maju, pergerakan nilai tukar justru bervariasi. Euro menguat tipis 0,09%, sedangkan poundsterling Inggris turun 0,04%, franc Swiss melemah 0,09%, dan dolar Australia jatuh lebih dalam 0,24%. Perbedaan arah ini menunjukkan bahwa dolar AS sedang berada dalam momentum penguatan yang lebih kuat, terutama terhadap mata uang Asia.
Sentimen Utama: The Fed Masih Hawkish
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa tekanan terhadap rupiah terutama dipicu oleh penguatan dolar AS pasca pernyataan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell.
Investor sebelumnya berharap Powell akan memberikan sinyal dovish, yaitu indikasi penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Namun, pernyataan Powell justru lebih berhati-hati. Ia menegaskan bahwa inflasi AS masih perlu dipantau ketat, dan peluang penurunan suku bunga belum tentu dilakukan agresif.
Sikap ini membuat pasar kembali meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama (higher for longer). Dampaknya, dolar AS menguat, sementara rupiah dan mata uang regional mengalami tekanan jual.
Kekhawatiran Defisit Fiskal RI
Selain faktor eksternal, rupiah juga dipengaruhi sentimen domestik. Menurut Lukman Leong, pelaku pasar masih mencermati kekhawatiran atas defisit fiskal yang diperkirakan melebar akibat berbagai stimulus pemerintah, termasuk Paket Ekonomi 8+4+5 yang baru saja diumumkan.
Stimulus fiskal dalam jumlah besar memang diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan mengenai kesehatan anggaran negara. Investor asing yang memegang surat utang negara menjadi lebih waspada, sehingga tekanan terhadap rupiah semakin besar.
Pemangkasan BI Rate Jadi Dilema
Tekanan rupiah juga datang dari kebijakan moneter domestik. Bank Indonesia (BI) pada September 2025 memutuskan memangkas BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Langkah ini diambil demi mendukung likuiditas dan mendorong penyaluran kredit perbankan.
Meski positif untuk pertumbuhan ekonomi, pemangkasan suku bunga justru melemahkan daya tarik rupiah di mata investor global. Yield surat utang Indonesia menjadi kurang kompetitif dibanding instrumen dolar AS, sehingga terjadi potensi capital outflow.
Dengan kombinasi faktor eksternal dan internal ini, pelemahan rupiah dipandang wajar dan masih mungkin berlanjut jika tidak ada intervensi signifikan.
Dampak Terhadap Ekonomi dan Pasar
Pelemahan rupiah yang menembus level Rp16.500 per dolar AS tentu membawa konsekuensi luas bagi perekonomian. Beberapa dampak yang dikhawatirkan antara lain:
Inflasi Impor
Harga barang impor berpotensi meningkat, terutama komoditas energi, pangan, hingga bahan baku industri. Kondisi ini dapat menekan daya beli masyarakat jika tidak diimbangi subsidi atau insentif pemerintah.Beban Utang Valas
Perusahaan dan pemerintah yang memiliki utang dalam dolar AS akan menghadapi beban pembayaran lebih besar dalam rupiah. Hal ini berpotensi menekan kinerja keuangan korporasi tertentu.Pasar Saham dan Obligasi
Investor asing cenderung menahan diri untuk masuk ke pasar keuangan domestik ketika rupiah berfluktuasi tajam. Aliran keluar modal asing (capital outflow) bisa menekan indeks saham maupun yield obligasi.Ekspor Lebih Kompetitif
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga membawa keuntungan bagi eksportir karena produk Indonesia menjadi lebih murah di pasar global. Namun, efek positif ini bergantung pada stabilitas harga bahan baku impor.
Perbandingan dengan Periode Sebelumnya
Level Rp16.500 per dolar AS bukan pertama kalinya dicapai rupiah. Pada periode krisis global sebelumnya, rupiah bahkan sempat menembus level Rp17.000. Namun, kali ini kondisinya berbeda. Perekonomian Indonesia relatif stabil, inflasi terkendali, dan cadangan devisa BI masih cukup untuk intervensi pasar.
Meski demikian, konsistensi pelemahan tetap menjadi sinyal waspada. Jika rupiah terus merosot tanpa dukungan kebijakan yang kredibel, risiko terhadap stabilitas makroekonomi bisa meningkat.
Strategi Pemerintah dan BI
Pemerintah bersama Bank Indonesia perlu menyiapkan strategi jangka pendek maupun jangka panjang agar pelemahan rupiah tidak semakin dalam. Beberapa langkah yang dinilai penting antara lain:
Intervensi valas secara terukur untuk meredam gejolak.
Menjaga daya tarik surat utang negara agar tetap diminati investor asing.
Transparansi fiskal, khususnya terkait pendanaan stimulus besar agar kepercayaan pasar tetap terjaga.
Diversifikasi cadangan devisa untuk memperkuat pertahanan mata uang.
BI juga kemungkinan akan memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam mengelola arus modal, sambil terus mendorong digitalisasi sistem pembayaran untuk mempercepat transaksi ekonomi domestik.
Prospek Rupiah ke Depan
Ke depan, rupiah diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh arah kebijakan The Fed. Jika inflasi AS tetap tinggi dan Powell mempertahankan suku bunga, dolar AS akan terus mendominasi. Di sisi lain, investor akan terus mencermati perkembangan defisit fiskal Indonesia serta efektivitas stimulus pemerintah.
Dengan berbagai faktor ini, banyak analis memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.400–Rp16.600 per dolar AS dalam jangka pendek. Namun, peluang penguatan kembali terbuka jika The Fed mulai memberi sinyal jelas soal penurunan suku bunga pada 2026, atau jika pemerintah berhasil meyakinkan pasar mengenai keberlanjutan fiskal.
Rupiah kembali melemah ke Rp16.527 per dolar AS akibat kombinasi tekanan eksternal dan domestik. Penguatan dolar AS pasca pernyataan Jerome Powell, kekhawatiran defisit fiskal akibat stimulus besar, serta pemangkasan suku bunga BI menjadi faktor utama.
Meski pelemahan rupiah membawa risiko inflasi impor dan capital outflow, peluang pemulihan tetap ada jika kebijakan fiskal dan moneter mampu menjaga kepercayaan pasar. Stabilitas rupiah ke depan akan sangat bergantung pada koordinasi erat pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga fundamental ekonomi.





