Batubara Tetap Jadi Andalan Energi Nasional di Tengah Gempuran Transisi Hijau, Kata APBI

Di tengah transisi energi global, APBI optimistis permintaan batubara tetap kuat. Batubara dinilai masih menjadi sumber energi efisien bagi industri, meski tantangan regulasi dan logistik terus menghantui. Simak analisis lengkapnya.

PipTrail – Di tengah derasnya arus transisi energi global menuju sumber daya ramah lingkungan, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan bahwa permintaan batubara di Indonesia masih sangat menjanjikan, khususnya untuk sektor industri nasional yang membutuhkan pasokan energi stabil dan terjangkau.

Dalam keterangan tertulis yang dirilis Rabu (25/6/2025), Ketua Umum APBI, Priyadi, menekankan bahwa meskipun energi baru dan terbarukan (EBT) berkembang pesat, biaya pengembangannya masih tinggi, menjadikan batubara sebagai alternatif yang tetap relevan—setidaknya dalam beberapa tahun ke depan.

“EBT memang berkembang, tapi biayanya belum terjangkau untuk seluruh sektor. Batubara tetap dibutuhkan oleh industri karena lebih efisien dan murah,” ujar Priyadi.

Permintaan Domestik Batubara Diprediksi Terus Meningkat

Data yang dihimpun APBI mencatat bahwa kebutuhan batubara domestik saat ini mencapai 235 juta ton, dan diproyeksikan melonjak menjadi 279 juta ton dalam lima tahun ke depan. Hal ini tak lepas dari pertumbuhan sektor industri, terutama manufaktur dan energi, yang membutuhkan suplai dalam jumlah besar dan harga kompetitif.

Menurut Priyadi, permintaan tersebut menunjukkan bahwa energi bersih belum mampu memenuhi lonjakan kebutuhan energi industri secara penuh. Sehingga, batubara akan tetap menjadi pilar energi nasional, setidaknya sampai teknologi clean coal dapat diterapkan secara luas dan ekonomis.

Dukungan pada Transisi Energi dan Praktik Pertambangan Bersih

Meski tetap mendukung posisi batubara, APBI tidak menutup mata terhadap urgensi transisi energi global. Priyadi menyatakan bahwa APBI sepenuhnya mendukung transisi menuju energi yang lebih bersih. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mendorong penerapan good mining practice guna menekan emisi dari sektor hulu.

“Transisi itu perlu, tapi perlu realistis. Industri tidak bisa langsung berganti sistem, karena biayanya besar dan teknologinya belum siap sepenuhnya di Indonesia,” jelas Priyadi.

Tantangan Industri Dari Lokasi Tambang, Infrastruktur Hingga Regulasi

Walau prospek permintaan menjanjikan, sektor pertambangan batubara nasional tetap menghadapi berbagai tantangan operasional. Salah satu tantangan terbesar adalah letak tambang yang umumnya terpencil, memaksa perusahaan membangun infrastruktur sendiri, termasuk jalan dan pelabuhan.

Selain itu, industri juga terpapar risiko eksternal seperti:

  • Cuaca ekstrem yang mengganggu distribusi

  • Fluktuasi nilai tukar karena ketergantungan terhadap impor alat berat

  • Ketidakpastian regulasi, terutama terkait pungutan dan kebijakan distribusi

Polemik MIP: Risiko Tambahan di Tengah Kewajiban DMO

Salah satu isu sensitif yang menjadi sorotan APBI adalah rencana pemerintah membentuk Mitra Instansi Pengelola (MIP)—sebuah badan perantara yang akan memungut dan mendistribusikan batubara domestik. Menurut Priyadi, jika tidak dirancang dengan matang, MIP berisiko menjadi beban tambahan bagi produsen batubara.

“Pelaku usaha sudah menjual batubara di bawah harga pasar untuk memenuhi DMO. Kalau kewajiban DMO sudah dipenuhi, kenapa harus ada MIP lagi?” ujarnya.

Rencana MIP sejatinya bertujuan untuk menjamin pasokan bagi sektor strategis seperti kelistrikan. Namun, pengusaha khawatir hal ini akan mengacaukan sistem distribusi yang sudah berjalan dan memberatkan margin bisnis yang sudah tipis akibat turunnya harga batubara global.

 Industri Butuh Kepastian: Harga Turun, Minyak Naik

Di tengah tekanan harga batubara global yang menurun dan lonjakan harga minyak dunia, Priyadi mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang berdampak langsung ke pelaku usaha.

“Kepastian regulasi sangat penting. Jangan sampai perusahaan tambang kolaps sebelum harga pulih,” tegasnya.

APBI menyerukan kepada pemerintah agar menciptakan iklim investasi yang stabil, dengan regulasi yang jelas dan tidak berubah-ubah. Kebijakan yang tidak konsisten hanya akan memperburuk ketidakpastian yang tengah dihadapi industri.

Batubara Masih Dibutuhkan, Tapi Industri Perlu Dukungan Nyata

Di tengah transformasi menuju ekonomi rendah karbon, batubara belum tergantikan dalam waktu dekat sebagai sumber energi utama, terutama untuk sektor industri dan kelistrikan. APBI melihat peluang besar dalam peningkatan permintaan, namun mengingatkan bahwa dukungan pemerintah melalui kebijakan yang adil dan rasional sangat krusial.

Masa depan energi Indonesia tidak bisa lepas dari realitas ekonomi dan kebutuhan industri. Oleh karena itu, kombinasi antara pengembangan energi baru dan optimalisasi eksisting seperti batubara—dengan pendekatan ramah lingkungan—adalah jalan tengah paling logis saat ini.

Related Posts

Boom Kripto! Transaksi Aset Digital RI Tembus Rp49 Triliun, Kepercayaan Pasar Makin Menguat

PipTrail – Transaksi kripto di Indonesia melonjak menjadi Rp49,53 triliun pada Mei 2025. Pertumbuhan ini menandai kepercayaan pasar dan perkembangan pesat sektor aset digital. Lonjakan Transaksi Kripto Capai Titik Tertinggi…

Skandal Rp38 Triliun Guncang Singapura: Credit Suisse hingga Citi Disanksi MAS

Singapura denda sembilan lembaga keuangan global, termasuk Credit Suisse dan Citigroup, senilai Rp350 miliar terkait Skandal kasus pencucian uang Rp38 triliun. Ini jadi langkah regulasi terbesar sejak skandal 1MDB. PipTrail…

One thought on “Batubara Tetap Jadi Andalan Energi Nasional di Tengah Gempuran Transisi Hijau, Kata APBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *